Denpasar | suaratabanan.id – 27 Agustus 2025, Dalam satu dekade terakhir internet dan sosial media bagaikan hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia era milenial ini. Internet dan media sosial telah mengubah cara untuk berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain. Hal ini tentunya berpotensi untuk menghadirkan peluang besar untuk inovasi, pembelajaran dan kreativitas, tetapi hal yang berbeda dapat terjadi pada implementasi internet atau sosial media yaitu masalah kesehatan mental pada remaja.
Pertumbuhan pengguna internet di Indonesia tergolong sangat cepat, pada tahun 2007 terdapat sekitar 20 juta jiwa pengguna internet dan 143,26 juta jiwa pada tahun 2017. Angka kenaikan tersebut tergolong sangat cepat yaitu hampir 750% dalam hitungan 1 dekade dengan presentase pengguna remaja berusia 13 – 18 tahun adalah 16,68%. Kemudian, terkait penetrasi internet, usia remaja menempati posisi tertinggi di Indonesia yaitu 75,50%. Data menunjukan, persentase kepemilikan smartphone di Indonesia adalah 50,08%. Sosial media menduduki peringkat kedua dalam penggunaan akses internet di angka 87.13% setelah chatting yaitu 89,35% (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, 2017). Pada Januari 2021, jumlah pengguna internet di Indonesia tercatat sebanyak 202,6 juta. Tren jumlah pengguna internet di Indonesia terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2024, tercatat 221,56 orang yang aktif menggunakan internet dan saat ini jumlah pengguna internet nasional sudah melonjak sebesar 54,25%. Sementara itu tingkat penetrasi internet di Indonesia mencapai 73,7% dari total penduduk pada awal 2022. Tercatat, total penduduk Indonesia berjumlah 277,7 juta orang pada Januari 2022. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, mayoritas anak usia 5 tahun ke atas di Indonesia sudah mengakses internet untuk media sosial. Persentasenya mencapai 88,99% alias yang terbesar dibandingkan tujuan mengakses internet lainnya.
Datangnya pandemi covid-19 telah meningkatkan akselerasi penggunaan internet tersebut, akibat peraturan sosial distancing hampir seluruh lini pekerjaan dan pendidikan pada akhirnya dijalankan secara daring (dalam jaringan internet). Adaptasi terhadap konten-konten didaring pun otomatis harus dilakukan, yang mengakibatkan peningkatan screentime.
Dengan potensi pengguna internet pada anak dan remaja, ditambah semakin banyaknya aplikasi yang ditawarkan, tentunya ada risiko terjadinya kriminalitas pada anak. Beberapa aplikasi memang mematok usia 13 tahun untuk dapat mengakses aplikasi tersebut, namun anak akan dengan mudah memanipulasi usia karena verifikasi tersebut hanya sebatas “tombol” yang dapat dipencet tanpa verifikasi lanjutan yang ketat. Beberapa potensi dari penggunaan interenet pada anak, antara lain:
1. Cyberbullying (perundungan online)
Seorang anak dapat menjadi korban maupun pelaku dari perundungan tersebut, korban perundungan via sosial media dapat berdampak pada depresi pada anak dan remaja. Pelaku perundungan diindikasikan pada anak yang menderita conduct disorder. Disinilah peran orang tua diperlukan dalam mengontrol perilaku dalam kebijakan penggunaaan sosial media. Diperlukan juga edukasi terhadap orang tua mengenai tanda dan gejala depresi, dan juga conduct disorder.
2. Game Online dan Judi Online
Game online menawarkan begitu banyak jenis permainan. Dunia maya yang di tawarkan seakan menjadi “dunia” kedua bagi anak. Di dalam dunia maya tersebut anak bisa menjadi apapun dan siapapun. Bahkan jika karakter dalam game tersebut memiliki level yang lebih tinggi atau karakter tersebut lebih dominan, anak dapat menjadi sanjungan dari beberapa orang yang bermain. Hal tersebut juga dapat menjadi penyebab seorang anak menjadi perundung atau korban perundungan dalam game tersebut karena perbedaan “kasta”.
Menjadi siapa dan apa di dalam “dunia” maya juga belum tentu sesuai dengan dunia yang sebenarnya. Anak dapat berpotensi menjadi seorang yang tidak memerlukan sentuhan sosial yang nyata, memiliki emosi yang labil, dan menimbulkan dorongan untuk terus berada di dalam dunia maya karena merasa nyaman. Banyak platform game online menawarkan berbagai bentuk permainan yang bersifat adiktif yang diantaranya memuat judi online.
Platform gambling online bagaikan gurita di dunia maya. Bahkan platform sosial media seperti facebook memiliki mini game seperti poker online. Menurut riset statistik terdapat setidaknya 5% dari anak usia 12-17 di Amerika mengalami kecanduan judi online (youthgambling.com, 2022). Ciri anak dengan adiksi game online atau judi online yaitu, anak tampak cemas, sering terdistraksi, adanya penarikan.
3. Online grooming dan Sexting
Menurut statistik di Amerika Serikat sekitar 500 ribu predator online grooming anak beredar di sosial media. Pelaku biasanya menyamar sebagai anak sesuai usia target, berperan sebagai teman baik yang memiliki kesukaan yang sama, dan memberikan beberapa hadiah. Kemudian pelaku mulai melakukan aksinya dengan online grooming atau sexting (chatting berbau seksual), yaitu eksploitasi seksual pada anak.
Dalam satu tahun terakhir, 2% anak-anak yang menggunakan internet berusia 12-17 tahun di Indonesia adalah korban kasus-kasus eksploitasi dan pelecehan seksual daring serius. Kasus-kasus ini termasuk diperas untuk terlibat dalam aktivitas seksual, orang lain membagikan gambar seksual mereka tanpa izin, atau dipaksa terlibat dalam aktivitas seksual dengan iming-iming uang atau hadiah. Dibandingkan skala populasi, persentasi ini menunjukan sekitar 500.000 anak-anak yang mengalami salah satu dari bahaya ini dalam rentang waktu hanya satu tahun. Menurut survei rumah tangga, pelaku kekerasan seksual anak online yang paling sering ditemukan adalah orang yang sudah dikenal anak – sering kali teman dewasa, teman sebaya atau anggota keluarga. Kejahatan ini dapat terjadi baik saat anak menghabiskan waktu daring atau bertemu fisik tetapi melibatkan teknologi.
Anak-anak mengalami kekerasan seksual online terutama melalui layanan obrolan/pesan yang didominasi WhatsApp dan Facebook Messenger, dan melalui media sosial, terutama Facebook. Anak yang menjadi sasaran kejahatan terkait seksual anak online, anak cenderung menceritakan kepada orang-orang dalam jaringan interpersonal mereka, terutama teman dan saudara. Sangat sedikit anak yang beralih ke mekanisme pelaporan formal seperti hotline, saluran bantuan atau polisi.
Tanda-tanda anak yang menjadi korban online grooming yaitu menghabiskan banyak waktu di depan layar, melarang orang tua untuk boleh mengakses telepon genggam atau laptop anak, dan terkadang menggunakan bahasa-bahasa “seksual” dalam mengungkapkan kekesalannya.
4. Pornografi dan Eksploitasi Seksual
Suatu konten pornografi dapat diakses dengan mudah melalui beberapa sosial media, bahkan tanpa dicari pun konten berbau pornografi kerap muncul dan hal ini tidak dapat dihindari. Paparan konten pornografi dapat merubah suatu persepsi anak terhadap tindakan seks dikemudian hari, dan dapat menimbulkan beberapa perilaku negatif seperti adiksi dan labilitas emosi. Tak dapat dipungkiri juga, anak-anak dapat menjadi korban eksploitasi dari konten pornografi tersebut yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Bahkan anak-anak dapat di ”jual” secara online melalui beberapa platform sosial media. Tak hanya korban, bahkan dewasa ini anak dapat menjadi konsumen dari “penjualan” seks yang ada didalam media sosial online.
Dampak psikologis dari eksploitasi seksual pada anak sangatlah buruk, mulai dari kecemasan, depresi, hilangnya rasa percaya diri, gangguan emosional, hingga gangguan stress pasca trauma. Tunggu tulisan selanjutnya, Bagaimana Kekerasan Seksual Berbasis Digital.
(Anak Ayu Sri Wahyuni dari berbagai sumber)