Dari Leiden, Belanda, pejuang kemanusiaan Sandyawan Sumardi meneruskan pesan WhatsApp dari Azhari Aiyub—dikenal juga sebagai Si Ujud atau O Men—seorang sastrawan terkemuka asal Aceh, pendiri komunitas budaya Tikar Pandan sekaligus penulis novel Kura-Kura Berjanggut.
Berikut isi pesan Azhari yang saya salin lengkap agar kita memperoleh gambaran tentang kondisi Aceh saat ini:
“Mulai dari Peureulak sampai Panton Labu, sinyal telepon hilang. Listrik padam. Elpiji mulai habis. Warung-warung di depan Masjid Julok sejak kemarin sudah tidak jualan nasi lagi. Masjid Julok yang sejak kemarin menampung banyak musafir sudah kehabisan air untuk MCK.
Tumpukan kendaraan terjadi di setiap titik banjir. Tidak ada alat berat untuk sekadar menyingkirkan pohon tumbang di jalan. Pemerintah lokal lumpuh dan kebingungan. Tapi warga saling bantu.
Pengurus Masjid Kubra sangat pemurah dan membantu banyak musafir dengan memberikan stok air bersih yang mereka punya. Bersamaku juga ada beberapa orang Tionghoa yang singgah di masjid dan menggunakan air untuk MCK.
Walaupun kondisi darurat, pedagang di Keude Kuta Binjai Julok tetap tidak menaikkan harga barang. Harga Aqua besar masih Rp 6.000, walaupun mereka tahu elpiji besok akan habis dan barang-barang di toko sudah kosong.
Di beberapa ruas jalan, penduduk, pemuda, dan remaja membuat pagar betis ketika ada truk atau bus melewati genangan air agar tidak tergelincir keluar jalur. Mereka kesulitan, karena untuk bergerak dari satu titik ke titik lain—bahkan yang jaraknya hanya 500 meter—hampir tidak mungkin karena dihalangi air. Banyak orang akhirnya terjebak di titik-titik seperti itu, tidak bisa menghubungi keluarga atau kehilangan kontak karena telekomunikasi mati total.
Pantai timur Aceh itu sepanjang 300 kilometer. Di sepanjang itulah banjir terjadi, belum lagi wilayah di atasnya, yang kebanyakan orang tidak tahu jalan keluar ketika banjir bandang datang.
Jalan Aceh–Medan sebenarnya sangat rentan. Hampir satu juta orang tergantung pada jalan itu. Karena situasi banjir, truk dalam sehari hanya mampu bergerak lima kilometer.
Semoga korban banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dapat segera memperoleh bantuan.
Pemerintah harus menghentikan pembalakan hutan, tambang ilegal, dan perluasan perkebunan yang memakan lahan hutan. Di berbagai tempat, kayu-kayu log dari penebangan liar menimpa rumah warga dan menutupi jalur evakuasi.
Jangan sampai Sumatera kita tenggelam. Bagi orang Aceh, bencana banjir ini adalah tsunami kedua—tetapi yang satu ini dibuat oleh manusia.”
—Azhari Aiyub, Aceh
Mujur tak teraih, nahas tak tertolak.
Kepala BNPB, sebagai lembaga resmi pemerintah dalam penanggulangan bencana, enggan memaklumatkan malapetaka banjir bandang di Aceh sebagai Bencana Nasional, dengan alasan “belum memenuhi kriteria.”
Tanpa mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan “memenuhi kriteria,” saya pribadi hanya bisa berharap: Insya Allah, Presiden Prabowo sebagai Panglima Tertinggi Republik Indonesia—tanpa terikat pada definisi BNPB—berkenan mengerahkan laskar TNI untuk segera membantu para korban yang kini berjuang bertahan hidup.
Inilah pengejawantahan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang semestinya tidak berhenti sebagai slogan, melainkan hadir dalam tindakan nyata.
MERDEKA!



















